Friday, April 27, 2012

Surau Dan Perjalanan Hidup Orang Minang


Mungkin lebih tepat disebut nostalgia masa lalu tentang surau dan perjalanan hidup (ideal) orang minangkabau, walaupun tidak pernah mencicipi bagaimana pendidikan surau, tapi saya yakin pendidikan surau berperan (besar) dalam melahirkan tokoh-tokoh minang.

SEJARAH PERKEMBANGAN SURAU DI MINANGKABAU
Oleh:Wisran Hadi

..............
Dalam kajian sosiologi dan anthropologi, aktivitas kehidupan individu masyarakat Minangkabau, terutama kehidupan kaum laki-lakinya dibagi dalam beberapa sentra kegiatan.

1. Mulai dari 0 tahun (lahir) sampai umur 6/8 tahun.
Seorang laki-laki Minang hidup di rumah gadang, atau dalam dunia ibu, dalam alam matrilineal. Minang kecil ini diajarkan siapa-siapa anggota kaumnya secara garis matrlineal. Niniak, mamak, etek, ucu, mintuo, amai dstnya. Minang kecil tidak terlalu akrab dengan ayahnya, karena ayahnya hanya pulang malam ketika si Minang kecil sudah tidur, dan pergi sebelum si Minang kecil bangun pagi. Mungkin, mungkin sekali, karena jarang dikenal ini, setiap laki-laki Minang marahsekali kalau disebut atau ditanyakan siapa bapaknya.

2. Setelah Minang kecil menjadi Minang remaja, berumur 6/8 sampai 12/15 tahun.
Mereka tidak boleh lagi tidur di rumah gadang. Mereka harus pindah ke surau. Minang remaja tidak boleh lagi lalok dibawah katiak mande. Jika siang hari mereka akan kembali ke rumah gadang, membantu mamak, ibu dan keluarga kaumnya mengerjakan sawah ladang, dan jika malam mereka belajar mengaji, belajar adat, pencak silat, kesenian dan mendengarkan orang-orang membaca kisah-kisah. Mereka yang sudah pandai menulis degan tulisan Jawi (Arab-Melayu) mereka disuruh menyalin tambo, menyalin kaba dan menyalin semua ajaran adat yang diajarkan oleh mamaknya.

Dunia surau adalah dunia yang sangat mengasyikkan bagi Minang remaja. Urang Siak yang terdiri dari Labai, Pakih, Malin, Katik, Bila, Imam merupakan guru-guru agama yang menerapkan sistem pendidikan individual.

Mereka belajar agama setelah sembahyang magrib dan berakhir waktu Isya. Setelah Isya mereka turun ke halaman belajar pencak silat. Di sinilah mereka mengenal randai, salawat, indang, barzanji. Seterusnya dilanjutkan dengan duduk kembali di surau mendengarkan kisah-kisah, uraian tentang adat istiadat, penyalinan-penyalinan naskah-naskah (tambo, kaba dan ajaran adat).

Waktu subuh tiba, mereka bangun dan sembahyang berjamaah. Setelah itu mereka kembali ke rumah gadang (rumah induak) untuk membantu kaum keluarganya bekerja di sawah dan di ladang.

Surau adalah tempat pertemuan Minang remaja dengan Minang tua. Dimaksud Minang tua, adalah orang Minang dalam kaum/pasukuan itu yang sudah tidak beristri dan tinggal di surau. Mereka adalah mamak bagi Minang remaja. Surau adalah tempat bertemunya Minang remaja dengan Minang tua. Pendidikan adat, pendidikan silat, berlangsung antara mamak dan kemenakan di surau.

Surau adalah sebuah ruang pendidikan yang kompleks bagi individu Minang. Di sana dia belajar agama dengan urang siak, di sana dia balajar adat dengan mamak, di sana dia belajar berdemokrasi sesama teman sebaya.

Perkelahian, cerita-cerita lucu, cerita mencuri ayam di kandang nenek, adalah romantika Minang remaja selama masa periode surau.

Periode surau ini disebut juga sebagai periode rantau. Maksudnya, di surau itu ditimbulkan kesadaran, bahwa setiap laki-laki Minang harus berani pergi merantau. Manusia yang ada di dunia ini adalah sedang berada di rantau. Rantau Dunia. Semua manusia akan kembali pulang ke kampung. Kampung akhirat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa surau adalah sebuah tempat yang sangat kompleks. Sarana pendidikan adat dan syara, tempat menempa pribadi untuk percaya diri dan menjadi seorang demokrat “duduak samo randah tagak samo tinggi”.

Pendidikan seperti inilah yang tidak ditemukan dalam sistem pendidikan barat yang diusung pemerintah RI sampai sekarang.

Jadi, jangan menganggap bahwa pendidikan surau adalah pendidikan yang kuno atau menganggap pendidikan di surau itu tempat belajar mengaji saja. Banyak segi-segi pendidikan keperibadian di sana. Terutama dalam memberikan kesadaranterhadap identitas diri, identitas budaya terhadap remaja-remaja Minang.

3. Remaja Minang yang sudah berumur lebih dari 15 tahun.
Secara otomatis mereka sudah punya gambaran untuk apa yang harus dipilihnya. Mereka sudah menjadi Minang Muda, berumur sekitar 15 – 20 tahun. Lapau dan galanggang adalah arena bagi mereka untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, masa-masa percintaan berlangsung di sini. Lagu-lagu romantis lahir dan dinyanyikan di palanta-palanta lapau. Keterampilan silat dan randainya, di uji di galanggang. Bagi mereka yang nakal, mereka akan jadi parewa, suatu dorongan dalam diri seseorang untuk mempertanyakan segala sesuatunya.

Parewa bukan pareman, tetapi parewa adalah Minang muda yang berpikir terbuka, bebas dan kritis. Parewa itulah ang tidak ada sekarang, yang ada lebih banyak pareman.

4. Dalam umur sekitar 20.
Minang Muda mulai dipersiapkan menjadi duta kaumnya untuk masuk ke kaum lain. Artinya, dia sudah harus mempersiapkan dirinya untuk kawin sekaligus untuk merantau meninggalkan kampung halaman.

Perkawinan dan merantau adalah bagian mutlak dalam kehidupan orang Minang. Perkawinan selain sebagai tanda kepatuhan kepada ajaran Islam, juga sekaligus menjadi kebanggaan suatu kaum. Sedangkan merantau, adalah tempat untuk melepaskan segala hal yang tidak terpenuhi di kampung halaman.

Karenanya pergi merantau adalah penting. Untuk menambah penghasilan, untuk menambah ilmu pengetahuan dan untuk memperluas wawasan.

Oleh karena itu, bagi orang Minang, seorang suami pergi merantau sementara istri tinggal di kampung adalah sesuatu yang lumrah adanya.

Bahkan pada kaum-kaum tertentu, Minang Mudanya dikawinkan lebih dulu sebelum dia diizinkan pergi merantau.

5. Setelah Minang dewasa ini menempuh hidup perkawinan dan kehidupan di rantau.
Umur bertambah dan dia harus kembali ke kampung mengurus anak kemenakannya. Dia ditugaskan sebagai mamak atau penghulu. Minang Sempurna ini tempat mereka mengadu nilai-nilai adat dan budayanya sesamanya berlangsung di Balai Adat. Oleh karena itu, Balai Adat merupakan sarana untuk berdebat, berdiplomasi, mengadu ketajaman pikiran, dan menjaga nilai-nilai adat dan syara’.

Demokrasi Minangkabau yang lebih sempurna di sini. Sesama penghulu mereka menjalankan prinsip utama demokrasi duduak samo randah, tagak samo tinggi.

6. Kembali ke Surau.
Setelah Minang Sempurna ini menjadi tua. dia tidak lagi berurusan dengan Balai Adat, tetapi kembali ke Surau. Di surau dia berjumpa dengan Minang remaja, kemenakannya sendiri. Dengan demikian seorang mamak yang mengajar kemenakannya di surau adalah seorang Minang yang sudah menempuh berbagai pengalaman hidup. Mulai jadi remaja, parewa, sumando, anak dagang di rantau, mamak/penghulu, dan kembali ke surau. Dia tentu saja dengan mudah dapatmenceritakan berbagai pengalaman hidupnya yang pada gilirannya akan ditempuh pula oleh Minang remaja, kemenakannya. Kembali ke Surau bagi Minang Tua adalah perjalanan akhir dalam kehidupan dunia. Di surau mereka menunggu ajal sambil mengajar anak kemenakan. Tidak salah kalau orang Minang tua selalu mengatakan;iduik baraka, mati bariman. Artinya untuk menghadapi hidup diperlukan akal, dan untuk mempersiapkan diri mati diperlukan iman.

Dari siklus perjalanan seorang Minang mulai dari; rumah gadang, terus ke surau, selanjutnya ke lapau dan galanggang, kawin dan merantau, jadi mamak atau penghulu, lalu kembali ke surau, adalah sebuah perjalanan individu Minang tradisi dalam penyempurnaan kehidupannya. Dari siklus ini terlihat, bahwa surau benar-benar sebuah sarana yang paling urgen dan efektif bagi kehidupan seorang individu Minang.

No comments:

Post a Comment